"AI apa ya? Saya tidak tahu," cetus Bergita Paskalina Pricelia Lejo, (26), seorang karyawan sebuah perusahaan multinasional yang bergerak dalam industri makanan ketika ditanya oleh Tirto.id mengenai apa itu Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Namun, ketika mendengarkan nama Siri disebut, ia menjawab, "Kalau itu saya tahu. Itu seperti otak Apple begitu kan? Yang membuat fungsi telepon seluler bekerja. Sistem cerdasnya Apple [yang] menjalankan fungsi untuk telepon, SMS, kemudian menggerakkan aplikasi-aplikasi yang khusus untuk Apple."

Jadi Tanpa sadar kita sebenar nya sudah sering berinteraksi secara tidak sadar dengan Kecerdasan Buatan. Kecerdasan Buatan ini sebenar nya mengcopy apa yang di lakukan oleh manusia oleh mesin  dan karena mesin tidak pernah capai dan memiliki tingkat ketelitian yang tinggi maka mesin lebih produktif di bandingkan dengan manusia.

AI sudah banyak beredar dalam kehidupan keseharian manusia. Google Assistant yang dapat ditemui pada smartphone Pixel, atau Siri pada ekosistem perangkat keras Apple, dan Cortana pada sistem operasi Windows mungkin bisa merepresentasikan hal itu. Dan jika lebih jeli lagi, AI yang lebih sederhana sesungguhnya dapat kita temukan pada kalkulator, atau ketika memproses sejumlah data menggunakan Microsoft Excel.

Selain itu di semacam platform Market pleace memberikan sistem cerdas yang menampilkan apa yang sesuai kebutuhan nya atau yang biasa di cari oleh pembeli di platform market pleace tersebut sehingga akan memudah kan pencarian dan pembelian , hal ini memang tidak dirasa oleh masyarakat umum.

Bayangkan jika general AI menguasai dunia di masa depan. Suasana futuristik tentu saja hinggap pada fantasi kita, di mana segala hal yang kita lakukan, mulai dari memasak hingga mengelola sistem yang kompleks seperti jaringan perkapalan global, akan dengan mudah dilakukan dengan bantuan AI. Namun seiring dengan makin hebatnya kemampuan AI dan semakin umum fungsinya, potensinya untuk berjalan ke arah yang "salah" pun akan semakin meningkat. Film Terminator dengan general AI-nya yang disebut dengan Skynet bisa menjadi gambaran akan potensi kehancuran yang mungkin dapat diproduksi oleh AI model itu. Max Tegmark, Presiden the Future of Life Institute, seperti dikutip dari laman futurelife.org, mengatakan, ketika mempertimbangkan risiko yang mungkin dibawa oleh AI, para ahli memikirkan setidaknya dua skenario besar. Yang pertama adalah ketika AI diprogram untuk melakukan sesuatu yang bersifat menghancurkan seperti ketika digunakan untuk perang. Risiko yang saat ini muncul ketika narrow AI digunakan dalam perang, seperti untuk menggerakkan senjata autonomous misalnya, akan berlipat ganda ketika general AI mengambil alih ini yang di rasa oleh beberapa pihak tentang bahaya nya AI karena tidak memiliki perasaan .

Nama-nama besar seperti Chief Executive Officer (CEO) Tesla Motors dan SpaceX Elon Musk dan fisikawan genius Stephen Hawking juga telah mengungkapkan potensi ancaman tersebut. Hawking menggarisbawahi bahwa teknologi primitif AI yang digunakan saat ini sudah sangat berguna bagi manusia, namun ia takut terhadap konsekuensi menciptakan sesuatu yang dapat bersaing atau bahkan melebihi kemampuan manusia.

Meski demikian, Musk dan sejumlah peneliti lainnya masih tetap meletakkan kepercayaan mereka terhadap AI. Musk, misalnya, telah bergabung dengan sejumlah miliarder lainnya seperti co-founder Paypal Peter Thiel, untuk memberikan dana bantuan sebesar $1 milyar kepada OpenAI, sebuah perusahaan non-profit yang bertujuan untuk mengembangkan AI untuk manfaat kemanusiaan. Andrew Ng di Stanford University, yang juga kepala ilmuwan raksasa internet Cina Baidu, mengatakan: ketakutan pada bangkitnya robot pembunuh itu seperti mengkhawatirkan kelebihan penduduk di Mars. Di sisi lain, berdasarkan data yang dari Accenture dan Frontier Economics yang diolah Statista, AI memiliki potensi untuk meningkatkan Gross Value Added (GVA) negara-negara di dunia pada tahun 2035. Pada tahun tersebut, AI diperkirakan dapat meningkatkan GVA Amerika Serikat dari 2,6 persen menjadi 4,6 persen, United Kingdom dari 2,5 persen menjadi 3,9 persen, Belanda dari 1,6 persen menjadi 3,2 persen dan Jepang dari 0,8 persen menjadi 2,7 persen. Pendapatan pasar AI global juga diperkirakan akan terus meningkat. Jika pada tahun 2015 "hanya" mencapai angka $126 miliar, maka pada tahun 2024 diproyeksikan mampu mencapai angka $3 triliun.






 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved